Sejak kehadirannya Muhammadiyah sudah menjadi solusi umat, walau dalam lingkup yang masih kecil sebatas teritorial residen yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan memberikan fondasi yang kuat dalam merubah keterbelakangan menuju kemajuan, merubah eksklusifitas budaya menuju inklusifitas budaya, KH. Ahmad Dahlan memberikan paradigma baru dalam berislam, yang menjadikan islam sebagai pedoman hidup benar-benar diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengertian yang otentik islam bukan hanya urusan ibadah khusus, tetapi islam mencakup seluruh aktifitas kehidupan manusia, baik aqidah, akhlak, ibadah dan muammalah duniawiyah, baik urusan intra maupun antar agama, domestik maupun global. Inilah yang menjadi pembeda Muhamamdiyah dengan organisasi lain yang sezamannya. Setiap kepemimpinan Muhammadiyah mempunyai karakteristik masing-masing dari awal berdiri hingga sekarang, baik karakter pimpinannya maupun katrakter rezim yang sedang berkuasa. Karakteristik sejarah pemikiran yang lahir dari kepemimpinan periode tertentu di Muhammadiyah memberi sumbangsih pada jati diri Muhamamdiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’rufnahi munkar yang didukung oleh kearifan lokal. Berikut adalah beberapa tahapan sejarah pemikiran Muhammadiyah dalam merespon realitas.
Pertama, tahap peletakan dasar ideologi dan organisasi. Tahap ini dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri muhamamdiyah diantara dengan merubah arah kiblat masjid keraton di kauman, mengembalikan ajaran islamke al Qur’an dan as Sunah dan membersihkan pemahaman keagamaan dari praktik takhayul, bid’ah dan churafat (TBC).
Kedua, tahap konsolidasi organisasi secara nasional. Tahap iniditandai dengan dua hal; konsolidasi organisasi dan konsolidasi program. Konsolidasi organisasi dilakukan ekspansi organisasi yang melibatkan sebanyak mungkin kader-kader muda Muhammadiyah, sedangkan dalam konsolidasi program dikembangkan sistem pendidikan ala Muhammadiyah. Dua tokohMuhammadiyah yang concern dengan konsolidasi organisasi yaitu KH.Ibrahim dan KH. Hisyam. Pada era kepemimpinan KH Ibrahim (1923-1932),Muhammadiyah berkembang dan menyebar luas sampai keseluruh wilayah Indonesiadan KH. Hisyam memimpin Muhamamdiyah 1932-1936, hanya dalam kurun waktu tiga tahun, KH Hisyam memperkokoh peran Muhammadiyah dalam bidang pendidikan Islam modern. Sehingga pada waktu itu sekolah-sekolah Muhammadiyah merupakan sekolah pribumi dengan peringkat kualitas yang dapat menyamai sekolah-sekolah belanda,sekolah-sekolah katolik dan protestan.
Ketiga, tahap penguatan konsep keumatan dan kebangsaan. Pada tahap ini, beberapa figur kepemimpinan Muhammadiyah memiliki sumbangsih nyata dalam perumusan visi kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia. Dua tokoh Muhammadiyah yang sangat berperan dalam tahap ini yaitu KH. Mas Mansur(1936-1942) dan Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953). KH. Mas Mansur bersama Bung Karno, Bung Hatta dan Ki Hajar Dewantara dikenal dengan “empat serangkai” tokoh nasional yang diperhitungkan oleh pemerintah kolonial. Kemudian peran KH. Mas Mansur dilanjutkan oleh Ki Bagus Hadikusumo yang tercatat dalam sejarah nasional maupun sejarah Muhammadiyah memiliki jasa besar dalam merumuskan Muqoddimah UUD 1945 sekaligus merumuskan Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah(MADM). Posisi Ki Bagus Hadikusumo tersebut didukung sebagai anggota panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI), bersama dengan Prof. Kahar Muzakkir dan Mr Kasman Singodimejo. Dalam hal ini Muqoddimah UUD 1945 sebagai wujud gerakan kebangsaan sementara Muqoddimah Anggaran Dasar Muhamamdiyah (MADM) sebagai wujud gerakan keumatan.
Keempat, tahap konsolidasi ideologi. Pada era perjuangan kemerdekaan sebelumnya Muhamamdiyah sedikit banyak terpengaruh oleh perjuangan kemerdekaan sehingga Buya AR. Sutan Mansur (1953-1959) merasa perlu untuk lebih banyak memfokuskan Muhammadiyah dengan program konsolidasi ideologi dan organisasi. Ditandai dengan dirumuskannya Khittah Palembang pada tahun 1956.
Kelima, tahap pengendalian dan penyelamatan Muhammadiyah. Tahap ini dimulai kepemimpinan KH. Yunus Anis (1959-1962), KH. Ahmad Badawi (1962-1968), KH Faqih Usman (1968) KH. AR. Fakhrudin (1968-1990) dan KH. Ahmad Azhar Basyir (1990-1994). Pada tahap ini Muhammadiyah mengalami dua rezim yang menyulitkan dan menyita energi Muhammadiyah. Pada zaman orde lama presiden Sukarno membuat kebijakan politik dengan Nasakom ( Nasionalis- Agama- Komunis) dan pemerintahan Orde Baru presiden Suharto membuat kebijakan yang tidak sejalan dengan gerakan Muhammadiyah, misalnya monolayalitik dan ketaatan mutlak kepada pemerintah, serta diterapkannya asas tunggal pancasila yang membuat polemik dikalangan Muhammadiyah maupun umat Islam. Oleh karena itu pada tahap ini Muhammadiyah merumuskan beberapa pedoman yang menjadi rambu-rambu dalam gerak berorganisasi. Pada tahun 1968 dirumuskan kepribadian Muhamamdiyah, tahun1971 dirumuskan Khittah Ujung pandang dan pada tahun 1978 dirumuskan Khittah Surabaya. Khusus kaderisas, saat itu ada perkaderan yang muncul di Muhammadiyah yang dikenal dengan perkaderan Darul Arqom.
Keenam, tahap reinventing dan revitalisasi Muhammadiyah. Periode kepemimpinan Prof. Dr. Amien Rais (1994-1998), dicatat sejarah sebagai periode pendobrak kepemimpinan rezim orde baru Presiden Suharto (1966-1998). Dilanjutkan oleh kepemimpinan Prof. Dr. Syafi’I Maarif (1998-2005). Periode berikutnya kepemimpinan Prof. Dr. Din Syamsudin (2005-2015), menindaklanjuti penataan kepemimpinan Muhammadiyah dan konsolidasi organisasi Muhammadiyah yang telah dipancangkan oleh kepemimpinan-kepemimpinan sebelumnya, terutama era reformasi.
Tahap demi tahap yang telah Muhammadiyah lakukan merupakan ikhtiar keumatan dan kebangsaan yang terpatri sejak awal berdiri tahun 1912 oleh KH.Ahmad Dahlan hingga saat ini. Tujuan terwujudnya masyarakat utama yang terdistribusi kedalam keumatan dan kebangsaan merupakan misi Muhammadiyah dalam mencapai baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.
Sumber : Muhammadiyah sebagai Mainstream Civil Society karya Sudibyo Markus